Cerita mengharukan terjemahan

Malang, 23 April 2013

Khafidhotun Nadliroh

Puisi Pertama Dan Terakhir

               Musim panas telah berlalu, yang tersisa hanyalah angin sepoi-sepoi dan bunga anggrek ungu. Siulan burung-burung terdengar menyenangkan saat pertama kali aku mendengarnya, tepatnya di tempat ini. Bangku kayu yang aku duduki sekarang ini terlihat sepeti sebuah cerita: Aku ingat telah membawakanya semangkok mie dan sebungkus sandwich (kue lapis) buatanku sendiri yang kupikir rasanya tidak terlalu lezat seperti sandwich yang pada umunya. Tetapi beliau suka sekali dan selalu memintaku untuk membuatkan untuknya. Aku hanya bisa berkata “Aku akan membuatnya”, karena jawabanku itu beliau terus menagih janjiku. Kepatuhan seperti itu yang telah aku berikan untuk permintaanya pada saat itu tapi itu seperti pemandangan yang aneh. Sejak aku sendiri di sini, duduk di bangku  kayu tua yang hampir rusak dengan ditemani sebungkus sandwich dan sebotol air minum. Saya memegang selembar kertas sambil menutup kedua mataku agar dapat merasakan sentuhan lembut. Sentuhan itu yang membuat diriku mengingat saat kami bersama-sama di tempat ini dan saling mengobrol dengan bahasa yang indah serta membuatnya menjadi puisi dan kata-kata bijak.

Dalam kenanganku, beliau sangat perhatian dan penyayang. Senyumnya yang lebar serta hangat memancarkan cahaya ke dalam hati yang telah kehilangan kegembiraan. Senyuman yang tidak pernah pudar dari bibirnya menyambut setiap orang yang beliau temui. Itulah yang membuatku kagum pada beliau. Beliau bukanlah lelaki yang ingin dikasihani. Beliau tidak pernah mengeluh tentang penyakitnya di masa beliau hidup. Beliau dapat bertahan hidup lebih lama daripada aku. Itulah kenyataanya. Beliau sangat mudah menerima penyakitnya dengan lapang dada, menikmati hidupnya. Banyak pelajaran yang diberikanya padaku., dan saya dapat melihat kearifan beliau. Kearifan tidak hanya dimiliki oleh mereka yang berkuasa atau mereka yang yang berstatus tingi di masayrakat, bahkan mereka yang lebih tua. Kearifan memancarkan keberadaan kita di tengah-tengah masayarakat di sekeliling kita. Itu adalah hadiah dari Tuhan, jika kesulitan menghampiri kita, kita mau berlapang dada menerimanya.

Aku memanggil beliau dengan sebutan Yangkung (kakek), meskipun beliu bukanlah kakekku. Aku memanggilnya kakek sejak beliau memintaku memanggilnya kakek. Pada waktu beliau berumur 70th saat pertama kali aku melihat beliau berdiri di depan kelas dengan anggun dan semangat. Aku melihat beliau mengajar dengan penuh semangat. Cara beliau dalam memilih kata dan gerak tubuhnya yang natural seperti rumput yang bergoyang tertiup angin di padang rumput: mempesona dan menyenangkan. Keriput di sudut kedua matanya, kedua pipinya dan kedua tanganya sejauh yang aku perhatikan. Pada saat itu beliau mengajar bab semantik. Beliau sering menyuruhku maju ke depan kelas untuk mengerjakan materi “tree diagram” (diagram pohon) yang tidak aku megerti sedikitpun. Pada awalnya aku mengira beliau mencoba mempermalukanku karena aku tidak pandai dalam materi itu, sehingga beliau menertawaiku dengan tebahak-bahak; dan teman-teman sekelas pun ikut tertawa. Itu menjadikan kesalahpahamanku pada beliau. Dil ain pihak, beliau memotivasiku untuk belajar lebih giat dan serius mempelajari tree diagram. Beliau sering menawariku untuk mengikuti kelas tambahan jika aku mengalami kesulitan dipelajaran semantik. Jadi beberapa kali kami bertemu di area parkir kampus setiap jam 12 siang dan menikmati makan siang bersama.

Yangkun menikmati keindahan alam, tetapi tidak di masa sekarang. Beliau rindu pada masa-masa beliau, seribu tahun yang lalu. Ketika putri tidur adalah satu-satunya yang dibanggakan di kota ini, seperti anggrek-anggerk ungu yang baru tumbuh berbunga. Burung-burung manyar menari-nari dan mendarat sekilas di atas hijaunya padang rumput. Beliau selalu teringat saat beliau memetik buah strawberry yang kecil di kebun kota dengan bebas bersama orang-orang sekelilingnya. “Jangan salah! Buah strawberry ini sangatlah lezat, segar dan enak. Apalagi gratis” itulah cara beliau meyakinkan aku bahwa strawberry-strawbery itu bersih dan beliau suka sekali memakanya. Saat itu aku tersenyum pada beliu dan berpikir itu lucu saat aku memandang ekspresi beliau ketika beliau mengatakanya dengan semangat, Ekspresi seorang anak bercerita tentang mainan baru pemberian ibunya. Beliau memperlihatkan kegembiraanya.

Hari itu, tanggal 9 September, kita menikmati sebungkus sandwich buatanku sendiri. Aku tidak mengerti mengapa beliau selau menyukai sandwich. Bagiku tidak ada yang special dari sandwich. Sandwich sudah menjadi menu favorit kami saat makan siang bersama. Yangkung menyukai sayur dan buah-buahan. Beliau tidak suka keju karena keju banyak mengandung lemak. 2 botol air minum yang selalu beliau minta aku membelikanya sebagai pelengkap sandwich. Beliau satu-satunya yang berhasil membuat aku terbiasa minum air putih.

“Bagaimana jika kamu membuat sebuah puisi untukku?” beliau berkata tiba-tiba

“Maaf”

Dengan tiba-tiba beliau memintaku untuk menulis puisi untuknya. Aku benar-benar tidak mengerti tujuan dari idenya itu. Beliau ingin mendengar kata-kata indah dan menyusunnya menjadi sebuah puisi, tetapi puisi itu harus aku yang menulisnya. Aku merasa itu adalah usul yang aneh.

“Mungkin aku tidak bisa membuat puisi indah untukmu Yangkung.” Kataku

Beliau bersikeras agar aku mau membuat puisi untuknya. Beliau memberi pujian pada bakat menulisku yang telah beliau amati. Beliau berkata bahwa aku mempunyai kemampuan dalam menulis. Jadi beliau yakin menulis puisi adalah hal yang mudah bagiku. Beliau hanya ingin mengetahuinya. Aku bingung. Saat aku punya kesempatan untuk memperlihatkan sedikit keahlianku di depan dosenku atau aku akan malu jika puisiku tidak terdengar bagus baginya.

Bisahkah aku minta waktu untuk mencatatnya selama beberapa detik?”

Beliau menggaru-garuk kepalanya

‘Tidak! sambil kamu membuatnya, aku juga mendengarkan. Kemudian aku memberi pendapat. Hanya itu. Sederhana kan?”

“Bagaimana jika puisiku tidak terdengar bagus menurutmu?”

“Baiklah, aku hanya akan berkata puisimu bagus, cantik. Jangan khawatir. Jika itu bisa membuatmu senang.

Dan kemudian beliau tersenyum, oh Tuhan, senyum itu: menawan dan menakjubkan

Kami bertemu siang harinya lagi, aku membawa puisiku untuknya dan aku membacanya. Tentu saja aku mulai membacanya dengan penuh keraguan.

Life, which I just knew the meaning of it.

Brings me to the world I do not recognize anymore ; where am I, until I ask.

I am hunger of kissing the beauty of Orchids, enjoying the passion of the Sleeping Beauty, by which I would always have a very tight sleep on the beach in the park.

And the later the Manyar birds woke me up through their sigh.

I am longing for that most wonderful world I had once in my life.

Being in touch with nature while the world nowadays does not give any chance for me even only to take a glance to it.

This era is not mind any longer, it is so not me!

It isn’t heaven-like, but I am thankful I could still b the one who can share the beautiful world in the past to the young sisters.

This world is not friendly for a second time, child

You never know how much I miss it.

‘‘Indah, sayangku, puisi yang bagus.” Kata beliau. Aku mengucapkan terima kasih. Aku kira puisiku tidak terlalu bagus seperti yang beliau bilang. Mungkin beliau hanya ingin membuatku senang.

“Kamu pasti sudah salah faham. Kamu pikir saya hanya berpura-pura mengatakan puisimu indah, kan? Itu serius cantik. Saya suka puisimu. Itu seperti yang aku pikirkan”. Lagi-lagi senyum paling indah yang pernah merekah di bibirnya.

Aku menulis puisi tentang pengalaman Yangkung di dunia ini, beliau tidak mengeluh dengan segala permasalah di dunia ini. Aku hanya ingin beliau tahu bahwa aku memperhatikan ketertarikan beliau tentang alam di waktu dualu. Aku percaya yang pernah beliau katakan. Aku dapat merasakan kegembiraan ketika aku menulis tentang bunga aggrek, putri tidur dan burung Manyar.

Kamu benar, kehidupan sekarang sudah tidak pernah seperti kehidupan di surga. Jadi mungkin saya akan menemukan kehidupanku di surga nanti. Beliau menertawai lelucon yang beliau buat sendiri. Dan aku sangat senang melihat beliau yang tertawa, kemudian ku merasakan air mataku menetes tiba-tiba. Ada sesuatu yang memenuhi hatiku tiba-tiba. Aku tidak tahu mengapa aku harus menangis melihat beliau senang. Aku seharusnya ikut tertawa kan? Tapi tidak. Aku membuat usaha yang keras untuk berpikir apa yang sedang terjadi waktu itu. Aku tidak menemukan jawaban yang mendalam di kedua mata beliau. Apa aku berani mengatakanya pada beliau?

“Apa engkau bahagia Yangkung?”

“Sangat bahagia , cantik. kenapa?ada yang aneh?”

“Tidak ada yang aneh, tetapi ada kegelisahan”

“Ayo pergi” minta beliau

Beliau mengantar aku pulang. Saat berada di mobilnya, beliau memberiku banyak nasehat. Beliau sering tertawa. Aku tidak pernah melihat beliau seperti itu sebelumnya. Tapi aku senang mendengar nasehat dan ekspresi beliau. Beliau terlihat sangat bahagia. Ketika kita sampai di depan rumahku, beliau mengatakan sesuatu sebelum aku masuk rumah.

Sayangku, terimakasih sudah menjadi cucuku yang paling baik. Terimakasih untuk puisi yang kamu buat untukku, saya sangat berterimakasih untuk semuanya. Maukah kamu melakukan sesuatu untukku? Hanya satu dan saya harap kamu tidak keberatan.

Beliau mengulurkan tangan kananya kepadaku. Tanpa aba-aba sebuah kata atau intruksi, aku menyambut uluran tangan beliau. Tetapi dengan melihat mata beliau, aku mengerti apa yang harus aku lakukan. Aku mencium tangan kanan beliau dengan hormat. Seperti bagaimana seorang cucu yang sayang kepada kakeknya sendiri. Aku tidak pernah melakukan ini sebelumnya, tetapi aku yakin itu tidaklah salah dan aku percaya itu  benar. Kemudian beliau melambaikan kedua tanganya dan berkata selamat tinggal. Aku melihat punggung beliau meninggalkanku bersama hari dimana kebersamaan kita hilang, dan semua kenangan kita dahulu. Itu adalah nasehat yang ditinggalkan. Beliau berada dalam kehidupan bahagia di surga. Aku kehilangan beliau, aku kehilangan kakek tersayang. Dunia seharusnya ikut berduka cita pada beliau.

Aku tidak tahu bahwa hari itu adalah hari terakhir aku melihat beliau. Aku tidak menyangka bahwa puisi itu adalah puisi terakhir untuk beliau. Aku yakin beliau tersenyum di dunia impianya. Anggrek ungu, putri tidur dan burung Manyar menjadi kenangan dimana aku duduk di taman ini yang masih menjadi teman hari-hariku bersama Yangkung dahulu.

Yangkung meningal karena Heptitis, tapi beliau tidak pernah mengeluh pada penyakitnya. Beliau menerimaya dengan lapang.

Cerpen ini di ambil dari “REFORM”, a magazine for Reformers edisi 39/2010 yang di tulis oleh :

Zwesty Aridasarie, ESP Lecturer at University of Muhammadiyah Malang.

Di terjemahkan oleh :                     

Khafidhotun Nadliroh

23 Agustus 2011